Ibu Bangun

Candra Hayu
1 min readJun 21, 2022

--

Aku berumur lima hingga sepuluh tahun. Ibu bangun, menggeliat dengan secangkir susu cokelat untukku dan satu lembar roti tawar yang di dalamnya banyak mentega. Terkadang keju. Selalu aku terburu-buru menghabiskannya. Sarapan tidak perlu terlalu besar, cinta dan pemahamanmu atas kehidupan saja nak yang akbar. Selaras pikir dan asamu yang kelak menjadi pijar. Pemahaman dan lapang dadamu menjadi pilar. “Menjadi pandai belum cukup. Jadilah cerdas dan teliti”. Katanya, selalu.

Aku berumur sepuluh hingga belasan tahun. Ibu bangun, menggeliat dengan gemuruh gelisah dalam dadanya. Tidak selalu dibahasnya. Namun bukankah tidak perlu membahas perasaan untuk merasakannya? Tidak dalam lisan bukan berarti tidak dirasakan. Lalu dari kejauhan, aku melihat Ibu selalu mengerti cara mencintai paling dalam dan paling menyerahkan diri. Seakan menyerahkan relungnya pada palung paling dalam. Sukarela paling rela. Ikhlas paling luas. Segala sakit ditrabas. Dari dekat aku mengimitasi caranya mencintai.

Aku berumur duapuluh dua tahun. Ibu bangun tanpa dalam jarak pandangku. Tapi intuisinya menembus jarak dan waktu. Ia memang takut aku menyusuri belantara ibu kota, namun ia lebih takut aku tenggelam pada isak sesak. “Tangismu telah banyak kau sulam di masa silam. Dengan nama yang sama. Apa luka ini hendak kau perdalam?”

Jakarta, 21 Juni 2022.

--

--