Juni

Candra Hayu
3 min readSep 25, 2022

--

Sebuah peristiwa signifikan terjadi dalam hidupku. Juni, 2021. Penentuan. Untuk tersisihkan, menunda, atau melanjutkan babak selanjutnya di kehidupan. Takut. Cemas. Khawatir. Tidak ada abjad A yang bisa menari melingkar dalam kepala. Tidak ada ekspektasi untuk menjadi luar biasa. Ikhlas berusaha. Tulus berkarya. Menulis yang aku pahami. Memahami apa yang aku tulis. Aku hanya tahu aku melakukan apa yang aku bisa, sebaik-baiknya, semampunya, seyogyanya.

16 Juni 2021.

Ketakutanku menjadi nyata. Sebentar lagi akan tiba. Satu nama yang menjadi penentu aku mampu atau tiada mampu. Gemuruh dalam dada. Tangisku menyeru. Mempertahankan penelitian.

22 Juni 2021.

Dengan satu jiwa yang menemaniku sepanjang malam, ia bilang aku akan baik-baik saja. Esok pagi akan terang. Tidak ada yang aku persilakan masuk ketika pagi menyapa. Aku percaya sahabatku, namun kepalaku berkelit berbicara aku belum tentu mampu mengatasi yang sulit. Pagi berhias gincu dan minyak wangi yang diramu. Bukan hari yang penuh rayu untuk diriku. Bukan juga hari yang menurutku perlu dirayakan. Ragu pada diri sendiri yang harus direbahkan. Mata yang harus diistirahatkan setelah panjang terjaga berbulan-bulan.

Hingga siang, ada lega yang menyusul dan tak perlu aku menyesal. Selama empat tahun berada di tempat yang memberi ilmu juga pembelajaran. Pendewasaan. Menanggalkan apa yang sudah tersemat di pikiran masa lampau dan memperbaruinya kembali. Huruf A yang tak kusangka ternyata untukku.

Satu nama menyuar. “Berkuliah adalah hal yang mewah”, katamu waktu itu. Berkuliah adalah hal yang mewah. Selain mahal dan hanya kalangan tertentu yang mampu, berkuliah mengantarkanku pada berliku kisah denganmu. Kagumku tak pernah tak meruah. Hanya senyumku yang tertahan ketika ingin merekah. Atau kadang rindu yang membuat mataku dengan airnya bersimbah. Aku ingin menyematkan namamu pada halaman persembahan. Kemudian bimbang. Aku ingin mengeja namamu dan mengetikkannya. Kemudian urung. Bukan karena dirimu pernah memanjakanku dalam banyak ribaan. Lebih dari itu, aku ingin mengekalkan dirimu sebagai seseorang yang lekat padaku meski tak selalu dekat. Tapi bukankah meskipun kata-kataku diakui tertulis dengan hebat, apa yang ingin aku sampaikan padamu selalu tersekat?

Menulis apa yang aku rasa. Merasakan apa yang aku tulis. Di balik kepala ada yang berdendang sinis: “Sudah, bab ia dalam hidupmu sudah berlalu.”, di sisi lain ada yang menguatkan pendapat untuk menanggapi: “kendati bab ia dalam hidup kita sudah berlalu, tidak pernah salah untuk mengingat dan mengekalkan apa yang ia berikan. Tidak perlu bilang padanya. Kita hanya perlu menulis apa yang kita rasa. Dan merasakan apa yang kita tulis. Secara diplomatis.”

Lalu aku lanjut menulis. Pada halaman terima kasih. Bukan, bukan tulisanku yang paling manis.

Seperti ini kira-kira penutupnya: “Begitulah penulis mengingatnya, sebagai seseorang yang pekatnya lekat”. Sebelum tertulis kalimat pamungkas, dalam tulisan itu aku sudah mengakui dan ikhlas jika apa yang aku dan kamu punya tidak akan kemana-mana dan akan selalu berpayung di bawah predikat teman. Teman berdiskusi, teman makan, teman menonton liga basket, teman bertukar cemburu, teman bermesra, teman segalanya.

Sengaja tertulis pekatnya lekat, karena riak memori pada saat itu masih hingar menyinari. Lekat meski tak selalu pada kata-kata tercuat. Pekat. Tidak encer seperti milo ecer seharga duaribu perak. Sampai di sini, telah aku terima bahwa kata teman adalah paling sesuai kendati semua

Diriku semakin utuh. Mantap meninggalkan apa yang harusnya sudah lama aku tanggalkan. Mengambil gelar untuk memperlancar urusan waktu mendatang. Besok hari Senin. Waktu untuk menghajar kembali kemestian di meja kantor. Meski belum resmi menjadi sarjana.

Berhasil menamatkan pendidikan belum tentu berhasil mengenyahkan apa yang tersematkan, pada waktu itu.

30 Juni 2021

Hingga tanggal tigapuluh. Aku merasa aku perlu ikut lega dan dan akhirnya mampu menulis laju, setelah menyaksikan kebersamaanmu dengannya dari layar. Gemebyar gilar-gilar. Tertulis bahwa status pernikahanmu betul masih lajang, belum mengucapkan janji di hadapan hadirin dan orang tua perempuanmu, namun telah berjanji akan menikahinya.

Tidak ada rasa sakit karena aku sudah menerima dan mengikhlaskan apapun yang aku punya untuk menyayangimu dengan cara yang aku tahu, saat itu.

“Dari jendela waktu aku menyaksikan diri sendiri pada kehidupan yang menghadirkan penghidupan. Tawa, lara, nyeri, berseri. Makhluk bernyawa ataupun benda mati. Pancar warna-warni. Salah satunya kamu. Pada inginku, tulisan akan mampu menjadi elaborasi lengkap atas apa yang ingin aku ucap dan yang selama ini tidak terungkap. Pada nyataku, kata-kata sesungguhnyalah dangkal. Acapnya dibuat berkelit atas hal yang ingin kita sangkal.

Meskipun rasa sayang sudah hilang, dalam harapku kamu berbahagia, mendapatkan kehidupan yang meriasmu dengan ketenangan dan kecukupan.”

Rupanya dengan merapal kata-kata untuk manusia lain menghantarkanku pada kebaikan lain, tunai pada tahun selanjutnya.

Keikhlasanku menyambut kepergianmu memulangkanmu padaku.

Sebuah peristiwa signifikan terjadi pada hidupku, Juni, 2022.

Juni, 2022

Prameswari

--

--